Berita Utama
0
Rp52 Triliun di Senayan, Karawang Masih Bergulat dengan 100 Ribu Pengangguran dan Data Stunting yang Membingungkan
Karawang, Taktis.web.id - Sidang Komisi XI DPR RI pada 10 September 2025 mencatat satu angka mencolok: Rp52,016 triliun. Itulah pagu anggaran Kementerian Keuangan yang diajukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tahun 2026. Anggaran tersebut digadang sebagai fondasi stabilitas fiskal dan akselerasi transformasi ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
Namun di Kabupaten Karawang, salah satu daerah yang kerap dijuluki “lumbung industri nasional,” gemuruh triliunan rupiah itu terdengar jauh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Karawang masih berada di angka 8,04% — setara dengan sekitar 100.400 orang, menjadikan Karawang sebagai salah satu daerah dengan tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Barat.
Ironisnya, Karawang juga dikenal sebagai magnet investasi, dengan kawasan industri berskala besar tersebar di berbagai kecamatan. Namun, limpahan modal tersebut belum sepenuhnya menjelma menjadi peluang kerja bagi masyarakat lokal.
“Industri di Karawang cenderung padat modal, bukan padat karya. Mesin-mesin modern terus berdiri, tapi anak-anak muda Karawang hanya menatap dari luar pagar pabrik,” ujar April, Kepala Kesekretariatan DPD LSM GMBI Distrik Karawang, dalam wawancara pekan ini.
Menurut April, tantangan utama terletak pada ketidaksesuaian antara kurikulum pendidikan menengah dengan kebutuhan dunia industri. Ia menyebut lulusan SMA sebagai kelompok paling rentan menghadapi pengangguran.
"Selama sekolah tidak menyiapkan skill relevan, investasi hanya akan lewat tanpa memberi dampak nyata,” tambahnya.
Di luar isu ketenagakerjaan, Karawang juga masih bergelut dengan persoalan gizi anak. Pemerintah Kabupaten Karawang dalam dokumen resminya tahun 2024 melaporkan penurunan prevalensi stunting hingga 16,3%. Namun, angka berbeda muncul dalam laporan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang mencatat prevalensi stunting di angka 17,6% untuk tahun yang sama.
April menilai perbedaan tersebut mengkhawatirkan.
“Bagaimana publik bisa percaya program penurunan stunting berhasil jika data dari dua sumber resmi saja berbeda? Stunting bukan sekadar angka, ia adalah masa depan generasi Karawang,” tegasnya.
Ia menyoroti pentingnya konsistensi dan keberlanjutan program intervensi gizi. Menurutnya, laporan yang rapi tidak selalu mencerminkan perubahan di lapangan.
Secara fiskal, Karawang memiliki kapasitas yang besar. Pendapatan daerah dalam APBD 2025 tercatat mencapai Rp5,796 triliun, dengan belanja daerah sebesar Rp6,048 triliun. Namun, April menyoroti minimnya transparansi dalam pelaporan realisasi anggaran.
“Publik tidak pernah mendapat laporan per dinas yang lengkap. Ada yang hanya diunggah sebagian, bahkan lewat media sosial. Bagaimana masyarakat bisa menilai apakah uang itu benar-benar dipakai untuk ruang kelas, posyandu, atau pelatihan kerja?” katanya.
Menurut April, tanpa transparansi, angka-angka besar dalam APBD tidak lebih dari sekadar janji di atas kertas.
Sebagai bagian dari lembaga yang aktif mengawasi kebijakan publik, LSM GMBI Distrik Karawang merinci lima langkah konkret yang mendesak dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Karawang:
- Publikasi Realisasi Anggaran: Pemerintah daerah diminta untuk merilis data realisasi anggaran per dinas secara berkala dan terbuka.
- Penetapan Target Kuantitatif: TPT ditargetkan turun minimal 1,5 persen poin per tahun, dan prevalensi stunting turun 2 persen poin.
- Kewajiban Serap Tenaga Lokal: Pemerintah daerah diminta mewajibkan industri menyerap tenaga kerja lokal, dengan insentif bagi yang patuh dan sanksi bagi yang abai.
- Digitalisasi Sistem Data Gizi: Pemanfaatan posyandu digital dinilai penting untuk mencatat intervensi secara real-time dan akurat.
- Audit Terbuka: Pelibatan aktif DPRD, BPK, dan masyarakat sipil dalam pengawasan anggaran agar proses pengawasan tidak sekadar formalitas.
April menutup pandangannya dengan menyoroti pentingnya penerjemahan anggaran pusat ke dalam indikator konkret di daerah. Ia menilai jargon "transformasi inklusif" akan kehilangan makna jika tidak dibarengi dengan target operasional di tingkat lokal.
“Rp52 triliun di Senayan memang penting untuk stabilitas fiskal. Tapi rakyat Karawang tidak hidup dari jargon stabilitas, mereka hidup dari kesempatan kerja, gizi anak, dan sekolah yang layak. Kalau pemerintah pusat dan daerah gagal menerjemahkan anggaran besar menjadi dampak nyata, maka angka itu hanya jadi simbol kemegahan, bukan solusi,” pungkasnya.
Kebijakan fiskal nasional memang penting sebagai instrumen membangun kepercayaan pasar dan menjaga fondasi ekonomi makro. Namun, seperti ditunjukkan Karawang, tantangan sebenarnya terletak pada implementasi di tingkat daerah. Selama pengangguran masih menyentuh ratusan ribu jiwa, selama angka stunting masih diperdebatkan, dan selama transparansi anggaran belum ditegakkan, Karawang akan tetap menjadi cermin paradoks pembangunan Indonesia: kaya investasi, miskin kesejahteraan.
(Red)
Via
Berita Utama